Perayaan Imlek 2023, PKB Ingat Jasa Gus Dur Hapus Diskriminasi di Indonesia
Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Daniel Johan menyebutkan perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia tidak terlepas dari jasa mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Menurut Daniel, Gus Dur yang membuat perayaan warga Tionghoa itu dapat kembali diadakan pada 2000 sesudah sempat dilarang semenjak 1968 – 1999.
“Kita dalam tiap Imlek mengucapkan syukur jika Gus Dur waktu jadi Presiden itu pertama kalinya perlakuan yang sudah dilakukan ialah mengambil semua Perpres diskriminasi yang sudah dilakukan negara pada masyarakatnya,” kata Daniel dalam penjelasannya.
Dalam perayaan Imlek tahun ini, Daniel menyebutkan PKB melangsungkan dialog dengan judul “Imlek dan Riwayat Gelap Diskriminasi di Indonesia”. Walau Imlek telah kembali diperbolehkan semenjak 23 tahun lalu, Daniel menyebutkan sekarang ini perlakuan diskriminasi masih terjadi.
“Jadi secara konstitusi telah jamin, bahkan juga kita ada UU anti diskriminasi. Tapi secara bukti banyak hal terjadi di bawah,” kata Daniel.
Dia mengharap perayaan Imlek yang diselenggarakan tiap tahun menjadi momen, bukan hanya untuk masyarakat Tionghoa, tapi juga untuk warga untuk mengingat kembali ada kebebasan dan tidak ada diskriminasi di Indonesia.
“PKB akan jadi garda paling depan jaga pluralitas, kebhinekaan, Pancasila, pasti itu jadi peninggalan Gus Dur, peninggalan PKB yang harus menjadi fondasi PKB,” kata Daniel.
Gus Dur Cabut Larangan Perayaan Imlek
Tahun Baru Imlek sempat dilarang dirayakan pada tempat umum di Indonesia semenjak 1968 sampai 1999. Larangan ini ditata dalam Perintah Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 yang dibikin oleh presiden Soeharto di zaman Orde Baru. Sampai hari, belum juga tahu argumen dibalik larangan itu.
Mengakibatkan, Inpres 14 Tahun 1967 mengakibatkan diskriminasi pada masyarakat Tionghoa yang tidak mempunyai tempat selainnya di ruangan ekonomi dan kadang olahraga di Indonesia untuk mereka yang berprestasi.
“Itu satu paket, tidak dapat disaksikan dari Imleknya atau Konghucunya saja, tetapi juga bagaimana diskriminasi itu terjadi berlama-lama,” kata Alissa Wahid.
Diskriminasi ini terjadi dalam sektor hukum. Ini tersingkap saat Gus Dur di tahun 90-an jadi saksi pakar untuk pernikahan pengantin Tionghoa di Surabaya namanya Budi Wijaya dan Lanny Guito yang tidak bisa mencatat pernikahannya di Kantor Catatan Sipil karena agama Konghucu belum dianggap di Indonesia.
Pasangan ini selanjutnya ajukan tuntutan dengan cara resmi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Tuntutan ini dilaksanakan supaya nantinya anak pada mereka tidak dipandang seperti anak di luar nikah dan tidak memperoleh pernyataan dari negara. Disini Gus Dur mulai populer di kelompok masyarakat turunan Tionghoa.
Warga Tionghoa perlu menanti sepanjang 32 tahun sampai larangan ini ditarik oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur saat memegang sebagai Presiden RI Ke-4. Gus Dur mengambil Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000.
Keppres ini jadi awalnya untuk warga Tionghoa di Indonesia memperoleh kebebasan untuk beragama, keyakinan, dan adat istiadat mereka, terhitung upacara keagamaan seperti Imlek secara terbuka